Abstrak : Proses belajar mengajar akan mengalami peningkatan dari sisi keaktifan, kreatifitas dan kesenangan siswa, karena dalam pembelajaran kontekstual guru berusaha menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sementara siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan dari konteks yang terbatas, sedikit demi sedikit, dan dari proses mengkonstruksi sendiri, sebagai bekal untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat.
Kata kunci : Belajar-mengajar, pembelajaran, pembelajaran kontekstual,
I. PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan masalah yang komplek, antara lain ia mencakup soal kurikulum, para guru, keadaan masyarakat dan kiranya juga soal politik. Walaupun kurikulumnya baik, tetapi jika korps guru kurang kemampuannya dalam menyampaikan ilmu kepada anak didiknya,maka kurikulum yang baik itu tidak banyak manfaatnya. Bila kurikulumnya baik para gurupun bermutu, namun jika para murid pada umumnya bersifat santai, malas belajar dan tidak disiplin, maka kedua faktor yang terdahulupun tidak akan banyak manfaatnya. Dan mendangkalnya mutu pendidikan sekarang ini kiranya juga merupakan akibat dari politik Pemerintah yang berupa pemerataan pendidikan yang lebih mengutamakan memperbanyak materi pelajaran daripada menghidupkan kemampuan (kompetensi) anak didik.
Alhamdulillah saat ini Pemerintah sudah memandang tiba saatnya untuk memperbaiki mutu pendidikan, misalnya dengan mengadakan berbagai macam workshop kepada para guru dari semua tingkatan perguruan. Pemerintahpun merencanakan memperbaiki penghasilan para guru di tahun depan atau pada masa-masa yang akan datang,sebagaimana yang disebutkan dalam UU tentang Standar Pendidikan Nasional dan UU tentang Guru . Hal ini penting sekali, karena bagaimana mungkin para guru dapat mencurahkan segenap tenaga dan pikirannya kepada tugas-tugasnya bilamana mereka terus dirongrong oleh beban hidup yang berat.
Tetapi tindakan perbaikan dari pemerintah saja tidak cukup. Semua wajib membantu usaha-usaha pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan para guru dari semua tingkatan perguruan, antara lain wajib bekerja penuh dedikasi, berdisiplin dan senantiasa meningkatkan pengetahuannya, sedangkan para orang tua wajib membantu dalam menegakkan disiplin belajar dan perilaku putra-putrinya.
Sekolah Dasar yang merupakan pendidikan awal dan menjadi dasar dari segala pendidikan yang ada diatasnya, diperlukan pendidikan yang profesional, sehingga murid betul-betul bisa melanjutkan pendidikannya kepada pendidikan yang ada di atasnya. Selain iu Sekolah Dasar juga mempersiapkan anak didiknya agar dapat terjun dalam masyarakat dan dapat mengembangkan sikap belajar sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan seumur hidup ( Way of life education ).Hal ini sebagaimana disebutkan dalam penjelasan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang berbunyi :
Reformasi pendidikan meliputi hal-hal berikut : Pertama ; penyelenggaraan pendidikan dinyatakan sebagai suatu proses pembudayaan dan perberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat , dimana dalam proses tersebut harus ada pendidik yang memberikan keteladanan dan mampu membangun kemauan, serta mengembangkan potensi dan kreatifitas peserta didik. Prinsip tersebut menyebabkan adanya pergeseran paradigma proses pendidikan, dari paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran. Paradigma pengajaran yang lebih menitikberatkan peran pendidik dalam mentransformasikan pengetahuan kepada peserta didiknya bergeser pada paradigma pembelajaran yang memberikan peran lebih banyak kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi dan kreatifitas dirinya dalam rangka membentuk manusia yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan, berahlak mulia, berkepribadian, memiliki kecerdasan, memiliki estetika, sehat jasmani dan rohani, serta keterampilan yang dibutuhkan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Meskipun demikian, pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional telah banyak berusaha mengatasi permasalahan pendidikan yang dihadapinya terutama masalah relevansi dan kualitas pendidikan pada berbagai tingkat dan jenis pendidikan. Upaya tersebut antara lain berupa pembaharuan kurikulum dan metodologi pengajaran, pengadaan buku pelajaran dan buku bacaan berkualitas, peyelenggaraan berbagai penataran / pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya, pengadaan alat peraga, peningkatan manajemen sekolah, pemberian block-grant kepada sebagian sekolah, dan berbagai macam bantuan lainnya. Cukup banyak usaha yang telah dilakukan pemerintah, akan tetapi dampaknya terhadap kualitas proses dan hasil belajar siswa belum optimal. Hal inilah yang membuat pemerintah terus berusaha mencari solusi yang terbaik untuk memecahkan masalah pendidikan tersebut. Salah satu wujud upaya tersebut yaitu berupa pengembangan kurikulum, model-model pembelajaran dan pendekatan atau strategi pembelajaran.
Persoalan mendasar yang hingga kini masih sangat dilematis dan kerap dihadapi Guru Sekolah Dasar (SD) di dalam proses belajar mengajar, adalah membangun suasana pembelajaran yang aktif-partisipatif ,yang mampu melibatkan siswa dalam interaksi dialogis dan berkualitas dengan guru, dan atau antar siswa. Akibatnya , iklim kelas pembelajaranpun kurang menarik, menyenangkan, dan membetahkan bagi siswa. Siswa hanya menjadi penerima pasif, kurang responsif, dan ada kecenderungan untuk menolak berinteraksi dengan guru. Persoalan tersebut juga dihadapi oleh para Guru di SD Negeri segugus IV Kecamatan Palengaan Kabupaten Pamekasan.
Dari beberapa kali pengamatan ditemukan fakta bahwa pada setiap proses belajar mengajar, siswa cenderung pasif, kurang menunjukkan gairah,minat, dan antusiasme untuk belajar. Ada indikasi munculnya kejenuhan dan kebosanan pada diri siswa untuk belajar . Interaksi memang kadang terjadi, sejauh karena diminta atau ditunjuk oleh Guru. Dalam suatu kesempatan proses belajar mengajar penulis mencoba berinteraksi dengan para siswa di dalam suatu dialog kelas, dengan mengajukan pertanyaan kepada kelas secara keseluruhan, dengan harapan sedikitnya ada satu dua orang siswa untuk menjawab. Akan tetapi, ternyata tak seorang siswapun yang tampak berupaya untuk merespon pertanyaan kami.
Fenomena ini, telah dirasakan berlangsung lama. Untuk mengubah siswa agar mau berpartisipasi-aktif dalam pembelajaran dirasakan sangat sulit. Untuk itu harus ada usaha berkonsultasi dengan orang-orang yang dianggap memiliki kompetensi dalam berbagai pendekatan dan atau strategi pembelajaran atau membaca berbagai buku atau VCD yang berisi penemuan baru tentang pendekatan dan atau strategi pembelajaran.
Akhirnya penulis temukan sebuah buku dan CD tentang pendekatan dan atau srategi tentang pembelajaran kontekstual. Setelah membaca penjelasan yang terdapat dalam buku tersebut, penulis berharap inilah pendekatan yang akan mampu membangun kreatifitas murid agar dapat menjadi pembelajar yang aktif-partisipatif. Bertitik tolak dari harapan tersebut, maka penulis tertarik untuk menulis sebuah karya tulis dengan mengambil judul “Peningkatan Proses belajar mengajar Melalui Strategi Pembelajaran Kontekstual “
Dari judul di atas nantinya akan muncul sebuah permasalahan. Sebelum penulis merumuskan apa permasalahan yang mungkin muncul pada karya tulis ini, terlebih dahulu akan dikemukakan apa yang dimaksud dengan masalah.
“Masalah” adalah sesuatu yang dipertanyakan dan sangat penting untuk dipecahkan (Khairul Iksan, 1991), atau dengan kata lain masalah adalah suatu keadaan yang menimbulkan pertanyaan dalam diri kita tentang bagaimana keadaan suatu kejadian itu timbul yang manakala dibiarkan akan menimbulkan kesulitan bagi manusia, sehingga masalah itu harus diatasi atau dipecahkan oleh manusia, karena masalah itu merupakan tantangan dan rintangan bagi manusia.
Adapun rumusan masalah dalam karya tulis ini adalah :
“ Mungkinkah Proses belajar mengajar bisa ditingkatkan Melalui Strategi Pembelajaran Kontekstual ?
A. KONSEP BELAJAR DAN PEMBELAJARAN
1. MAKNA BELAJAR DAN MENGAJAR
Belajar dan mengajar adalah dua aktivitas yang hampir tidak dapat dipisahkan satu dari yang lainnya, terutama dalam prakteknya di sekolah-sekolah. Bahkan apabila keduanya telah digerakkan secara sadar dan bertujuan, maka rangkaian interaksi belajar-mengajar akan segera terjadi. Sehubungan dengan hal ini ada baiknya kedua istilah tersebut untuk dibahas.
A. Belajar
Kita masih ingat bahwa “belajar” pernah dipandang sebagai proses penambahan pengetahuan. Bahkan pandangan ini mungkin hingga sekarang masih berlaku bagi sebagian orang di negeri ini. Akibatnya, “mengajar” pun dipandang sebagai proses penyampaian pengetahuan atau keterampilan dari seorang guru kepada siswanya.
Pandangan semacam itu tidak terlalu salah, akan tetapi masih sangat parsial, terlalu sempit, dan menjadikan siswa sebagai individu-individu yang pasif. Oleh sebab itu, pandangan tersebut perlu diletakkan pada perspektif yang lebih wajar sehingga ruang lingkup substansi belajar tidak hanya mencakup pengetahuan, tetapi juga keterampilan, nilai dan sikap.
Sebagai landasan pembahasan mengenai apa yang dimaksud dengan belajar, berikut ini kami kemukakan beberapa definisi belajar yang dikemukakan oleh Drs.M.Ngalim Purwanto.MP (1990).
a) Hilgard dan Bower, dalam buku Theories of Learning (1975). “Belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu, dimana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atas dasar kecenderungan respon pembawaan, kematangan, atau keadaan-keadaan sesaat seseorang ( misalnya kelelahan, pengaruh obat, dan sebagainya ).”
b) Gagne, dalam buku The conditions of Learning (1977). “ Belajar terjadi apabila suatu situasi stimulus bersama dengan isi ingatan mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga perbuatannya ( performance-nya) berubah dari waktu sebelum ia mengalami situasi itu ke waktu sesudah ia mengalami situasi tadi.”
c) Morgan, dalam buku Introduction to Psychology (1978). “ Belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman.”
d) Witherington,dalam buku Educational Psychology. “ Belajar adalah suatu perubahan didalam kepribadian yan menyatakan diri sebagai suatu pola baru daripada reaksi yang berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, kepandaian, atau suatu pengertian.”
Dari definsi-definisi yang dikemukakan diatas, dapat dikemukakan adanya beberapa elemen yang penting yang merincikan pengertian tentang belajar, yaitu bahwa :
a)Belajar merupakan suatu perubahan dalam tingkah laku dimana perubahan itu dapat mengarah kepada tingkah laku yang lebih baik, tetapi juga ada kemungkinan mengarah kepada tingkah laku yang lebih buruk.
b)Belajar merupakan suatu perubahan yang terjadi melalui latihan dan pengalaman : dalam arti perubahan-perubahan yang disebabkan oleh pertumbuhan atau kematangan tidak dianggap sebagai hasil belajar; seperti perubahan-perubahan yang terjadi pada diri seorang bayi.
c)Untuk dapat disebut belajar, maka perubahan itu harus relatif mantap; harus merupakan akhir daripada suatu periode waktu yang cukup panjang. Berapa lam periode waktu itu berlangsung sulit dtentukan dengan pasti, tetapi perubahan itu hendaknya merupakan akhir dari suatu periode yang mungkin berlangsung berhari-hari, berbulan-bulan ataupun bertahun-tahun. Ini berarti kita harus mengenyampingkan perubahan-perubahan tingkah laku yang disebabkan oleh motivasi, kelelahan, adaptasi, ketajaman perhatian atau kepekaan seseorang, yang biasanya hanya berlangsung sementara.
d)Tingkah laku yang mengalami perubahan karena belajar menyangkut berbagai aspek kepribadian, baik fisik maupun psikis, seperti: Perubahan dalam pengertian, pemecahan suatu masalah / berfikir, keterampilan, kecakapan, kebiasaan, ataupun sikap.
B.Mengajar
Pada uraian di atas telah dikemukakan bahwa istilah belajar pernah dipandang sebagai proses penambahan pengetahuan. Senada dengan nuansa penafsiran terhadap belajar seperti itu, maka “mengajar “ pun pernah dianggap sebagai proses pemberian atau penyampaian pengetahuan. Pandangan demikian membawa konsekuensi logis terhadap situasi belajar –mengajar yang diwujudkan oleh guru, yakni proses belajar-mengajar (PBM) yang terjadi di dalamnya bersifat teacher-centered. Pengajaran menjadi berpusat pada guru mengajar lebih dominan daripada belajar. Guru berperan sebagai pemberi informasi sebanyak-banyaknya kepada para siswa (information givers) atau dengan nama lain sebagai instructor. Oleh sebab itu, sumber belajar yang digunakan, maksimal hanya sebatas apa yang ada diantara dua kulit buku dan empat dinding kelas. Bahkan, banyak diantara mereka yang menjadikan dirinya sebagai satu-satunya sumber belajar. Akibatnya, siswa-siswa menjadi individu-individu yang pasif, kedaulatan merekapun pada akhirnya harus tunduk pada kekuasaan guru. Mereka tidak dididik untuk berfikir kritis, berlatih menemukan konsep atau prinsip, ataupun untuk mengembangkan kreatifitasnya. Mereka tidak dipersiapkan untuk menghadapi kehidupan yang perubahan-perubahannya sangat cepat, bahkan dapat terjadi dalam hitungan detik seperti sekarang ini. Hal ini bisa terjadi pada masa mendatang, karena dengan penerapan konsep mengajar semacam itu, siswa-siswa tidak dididik untuk belajar sebagai manusia seutuhnya, sementara kita berharap agar kelak siswa-siswa menjadi orang-orang yang terdidik, tidak sekedar tersekolah atau belajar.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka mengajar sepantasnya dipandang sebagai upaya atau proses yang dilakukan oleh seorang guru untuk membuat siswa-siswanya belajar. Dalam hal ini guru berupaya untuk membelajarkan siswa-siswanya, dan sebaliknya para siswa menjadi pembelajar-pembelajar yang aktif, kritis dan kreatif. Dengan cara ini interaksi belajar mengajar dapat terjadi, dan pengajaran tidak lagi bersifat teacher-centered, karena telah bergeser pada kontinum pengajaran yang lebih bersifat student-centered. Pertanyaan selanjutnya, yang menggelitik kita selaku guru yang bertugas pada era informasi ini yaitu : Apakah diantara kita yang terlanjur telah menerapkan pengajaran bersifat teacher-centered akan segera berubah kearah student-centered ?
2. MAKNA PEMBELAJARAN
Istilah pembelajaran mengundang berbagai kontroversi diberbagai kalangan pakar pendidikan, terutama di antara guru-guru di sekolah. Hal ini disebabkan oleh demikian luasnya ruang lingkup pembelajaran, sehingga yang menjadi subyek belajar atau pembelajarpun bukan hanya siswa dan mahasiswa, tetapi juga peserta penataran/pelatihan atau pendidikan dan pelatihan (diklat), kursus, seminar, diskusi panel, symposium, dan bahkan siapa saja yang berupaya membelajarkan diri sendiri.
Pembelajaran dapat didefinisikan sebagai suatau system atau proses membelajarkan subyek didik/pembelajar yang direncanakan atau didesain, dilaksanakan, dan dievaluasi secara sistematis agar subyek didik/pembelajar dapat mencapai tujuan-tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien (Depdiknas,Model pembelajaran IPA SD,2003). Dengan demikian, jika pembelajaran dianggap sebagai suatu system, maka berarti pembelajaran terdiri dari sejumlah komponen yang terorganisir antara lain tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, strategi dan metode pembelajaran, media pembelajaran/alat peraga, pengorganisasian kelas, evaluasi pembelajaran, dan tindak lanjut pembelajaran. Sebaliknya bila pembelajaran dianggap sebagai suatu proses, maka pembelajaran merupakan rangkaian upaya atau kegiatan guru dalam rangka membuat siswa belajar. Proses tersebut dimulai dari merencanakan program pengajaran tahunan, semester, dan penyusunan persiapan mengajar (lesson plan) berikut penyiapan perangkat kelengkapannya antara lain alat peraga, dan alat-alat evaluasi. Persiapan pembelajaran ini juga mencakup kegiatan guru untuk membaca buku-buku atau media cetak lainnya yang berkaitan dengan materi pelajaran yang akan disajikan kepada para siswa dan mengecek jumlah dan keberfungsian alat peraga yang akan digunakan.
Setelah persiapan tersebut, guru melaksanakan kegiatan-kegiatan pembelajaran dengan mengacu pada persiapan pembelajaran yang telah dibuatnya. Pada tahap pelaksanaan pembelajaran, struktur dan dan situasi pembelajaran yang diwujudkan guru akan banyak dipengaruhi oleh pendekatan atau strategi dan meode-metode pembelajaran yang telah dipilih dan dirancang penerapannya, serta filosofi kerja dan komitmen guru yang bersangkutan, persepsi, dan sikapnya terhadap siswa. Jadi semuanya itu akan menentukan terhadap struktur pembelajaran.
B. TINJAUAN TENTANG PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL
1. LATAR BELAKANG
Pembelajaran kontekstual sebagai salah satu strategi dalam proses pembelajaran bermula dari pandangan ahli pendidikan klasik John Dewey yang pada tahun 1916 mengajukan teori kurikulum dan metodologi pengajaran yang berhubungan dengan pengalaman dan minat siswa. Filosofi pembelajaran kontekstual berakar dari paham progresivisme John Dewey. Intinya, siswa akan belajar dengan baik bilamana apa yang dipelajari oleh mereka berhubungan dengan apa yang telah mereka ketahui, serta proses belajar akan produktif jika siswa terlibat aktif dalam proses belajar di sekolah. Diantara pokok-pokok pandangan progresivisme antara lain :
1. Siswa belajar dengan baik apabila mereka secara aktif dapat mengkonstruksi sendiri pemahaman mereka tentang apa yang diajarkan oleh guru.
2. Anak harus bebas agar bisa berkembang wajar.
3. Penumbuhan minat melalui pengalaman langsung untuk merangsang belajar
4. Guru sebagai pembimbing dan peneliti
5. Harus ada kerjasama antara sekolah dan masyarakat
6. Sekolah progresif harus merupakan laboratorium untuk melakukan eksperimen.
Selain teori progresivisme John Dewey, teori kognitif juga melatarbelakangi filosofi pembelajaran kontekstual. Siswa akan belajar dengan baik apabila mereka terlibat secara aktif dalam segala kegiatan di kelas dan berkesempatan untuk menemukan sendiri. Siswa menunjukkan hasil belajar dalam bentuk apa yang mereka ketahui dan apa yang dapat mereka lakukan. Belajar dipandang sebagai usaha atau kegiatan intelektual untuk membangkitkan ide-ide yang masih laten melalui kegiatan introspeksi.
Sejauh ini pendidikan di Indonesia masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihafal. Kelas masih berfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan, kemudian ceramah sebagai pilihan utama strategi belajar. Untuk itu, perlu sebuah strategi belajar baru yang lebih memberdayakan siswa. Sebuah strategi belajar yang tidak mengharuskan siswa menghafal fakta-fakta, tetapi sebuah strategi yang mendorong siswa mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri.
Berpijak pada dua pandangan itu, filosofi pembelajaran konstrukivisme berkembang. Dasarnya, pengetahuan dan keterampilan siswa diperoleh dari konteks yang terbatas dan sedikit demi sedikit. Siswa yang harus mengkonstruksi sendiri pengetahuannya.
Melalui landasan filosofi konstrukivisme, CTL dipromosikan menjadi alternatif strategi belajar yang baru. Melalui strategi CTL, siswa diharapkan belajar melalui mengalami, bukan menghafal. Pembelajaran konstektual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antarapengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkannya dalam tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (Contructivism), bertanya (Questioning), menemukan (Inquiry), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assesment).
Menurut filosofi konstruktivisme, pengetahuan bersifat non-objektif,temporer, berubah, dan tidak menentu. Kitalah yang memberi makna terhadap realitas yang ada. Pengetahuan tidak pasti dan tidak tetap. Belajar adalah pemaknaan pengetahuan, bukan perolehan pengetahuan dan mengajar diartikan sebagai kegiatan atau proses menggali makna, bukan memindahkan pengetahuan kepada orang yang belajar. Otak atau akal manusia berfungsi sebagai alat untuk melakukan interpretasi sehingga muncul makna yang unik.
Salah satu prinsip paling penting dari psikologi pendidikan adalah guru tidak boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri. Guru dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide, dan dengan mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan kepada siswa tangga yang dapat membantu mereka mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi, tetapi harus diupayakan agar siswa sendiri yang memanjat tangga tersebut.
Dengan paham konsrukivisme, siswa diharapkan dapat membangun pemahamannya sendiri dari pengalaman atau pengetahuan terdahulu. Pemahaman yang mendalam dikembangkan melalui pengalaman-pengalaman belajar bermakna ( akomodasi ). Siswa diharapkan mampu mempraktekkan pengetahuan / pengalaman yang telah diperoleh dalam konteks kehidupan. Siswa diharapkan juga melakukan refleksi terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut. Dengan demikian, siswa dapat memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan yang dipelajari .Pemahaman ini diperoleh siswa karena ia dihadapkan kepada lingkungan belajar yang bebas yang merupakan unsur yang sangat esensial.
Hakekat teori konstruktivisme adalah bahwa siswa harus menjadikan informasi itu menjadi miliknya sendiri. Teori konsruktivis memandang siswa secara terus-menerus memeriksa informasi-informasi baru yang berlawanan dengan aturan-aturan lama dan memperbaiki aturan-aturan tersebut jika tidak sesuai lagi. Teori konstruktivis menuntut siswa berperan aktif dalam pembelajaran mereka sendiri. Karena penekanannya pada siswa yang aktif, maka strategi konstruktivis sering disebut sebagai pengajaran yang berpusat pada siswa ( Student centered instruction ). Di dalam kelas yang pengajarannya terpusat pada siswa, peranan guru adalah membantu siswa menemukan fakta, konsep, atau prinsip bagi diri mereka sendiri, bukan memberikan ceramah atau mengendalikan seluruh kegiatan di kelas.
Beberapa proposisi yang dapat dikemukakan sebagai implikasi dari teori konstruktivistik dalam praktek pembelajaran di sekolah-sekolah kita sekarang ini adalah sebagai berikut :
a. Belajar adalah proses pemaknaan informasi baru.
b. Kebebasan merupakan unsur esensial dalam lingkungan belajar.
c. Strategi belajar yang digunakan menentukan proses dan hasil belajar.
d. Belajar pada hakekatnya memiliki aspek sosial dan budaya.
e. Kerja kelompok dianggap sangat berharga.
Dalam pandangan konstrukivistik, kebebasan dipandang sebagai penentu keberhasilan karena kontrol belajar dipegang oleh siswa itu sendiri. Tujuan pembelajaran konstruktivistik menekankan pada penciptaan pemahaman, yang menuntut aktivitas yang kreatif dan produktif dalam konteks nyata. Dengan demikian, paham konstruktivistik menolak pandangan behavioristik.
2. PENGERTIAN PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL
Apa yang dimaksud dengan pembelajaran kontekstual tidak ada sebuah definisi atau pengertian tunggal. Setiap pakar dan komunitas pakar memberikan definisi beragam. Namun mereka bersepakat bahwa hakekat pembelajaran kontekstual adalah sebuah sistem yang mendorong pembelajar untuk membangun keterkaitan, independensi, relasi-relasi penuh makna antara apa yang dipelajari dengan realitas, lingkungan personal, sosial dan kultural yang terjadi sekarang ini (Moh.Imam Farisi,2005).
Beberapa definisi pembelajaran kontekstual yang pernah ditulis dalam beberapa sumber, yang dikemukakan oleh Nurhadi,dkk dalam bukunya “ Kontekstual dan penerapannya dalam KBK “.
1. Sistem CTL merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dalam bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari, yaitu, dengan konteks lingkungan pribadinya, sosialnya, dan budayanya. Untuk mencapai tujuan tersebut, system CTL akan menuntun siswa melalui kedelapan komponen utama CTL: melakukan hubungan yang bermakna, mengerjakan pekerjaan yang berarti, mengatur cara belajar sendiri, bekerjasama, berpikir kritis dan kreatif, memelihara/ merawat pribadi siswa, mencapai standar yang tinggi, dan menggunakan assessment autentik.
2. Pengajaran kontekstual adalah pengajaran yang memungkinkan siswa memperkuat, memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademisnya dalam berbagai latar sekolah dan diluar sekolah untuk memecahkan seluruh persoalan yang ada dalam dunia nyata. Pembelajaran kontekstual terjadi ketika siswa menerapkan dan mengalami apa yang diajarkan dengan mengacu pada masalah-masalah riel yang berasosiasi dengan peranan dan tanggung jawab mereka sebagai angota keluarga, anggota masyarakat, siswa, dan selaku pekerja. Pengajaran dan pembelajaran kontekstual menekankan berfikir tingkat tinggi, transfer pengetahuan melalui disiplin ilmu, dan mengumpulkan, menganalisis dan mensintesiskan informasi dan data dari berbagai sumber dan sudut pandang.
3. Pengajaran dan pembelajaran kontekstual adalah suatu konsepsi belajar mengajar yang membantu guru menghubungkan isi pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan dan aplikasinya dalam kehidupan siswa sebagai anggota keluarga, anggota masyarakat, dan pekerja serta meminta ketekunan belajar. Pengajaran dan pembelajaran kontekstual dilakukan dengan berbasis masalah, menggunakan cara belajar yang diatur sendiri, berlaku dalam berbagai macam konteks, memperkuat pengajaran dalam berbagai konteks kehidupan siswa, menggunakan penilaian autentik, dan menggunakan pula kelompok belajar yang bebas.
3. DELAPAN KOMPONEN UTAMA DALAM SISTEM PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL
Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningful connections). Siswa dapat mengatur diri sendiri sebagai orang yang belajar secara aktif dalam mengembangkan minatnya secara individual, orang yang dapat bekerja sendiri atau bekerja dalam kelompok, dan orang yang dapat belajar sambil berbuat ( learning by doing ).
Melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan ( doing significant work ). Siswa membuat hubungan-hubungan antara sekolah dan berbagai konteks yang ada dalam kehidupan nyata sebagai pelaku bisnis dan sebagai anggota masyarakat.
Belajar yang diatur sendiri ( self-regulated learning ). Siswa melakukan pekerjaan yang signifikan : ada tujuannya, ada urusannya dengan orang lain, ada hubungannya dengan penentuan pilihan, dan ada produknya / hasilnya yang sifatnya nyata.
Bekerjasama (collaborating). Siswa dapat bekerja sama. Guru membantu siswa bekerja secara efektif dalam kelompok, membantu mereka memahami bagaimana mereka saling mempengaruhi dan saling berkomunikasi.
Berfikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking). Siswa dapat menggunakan tingkat berfikir yang lebih tinggi secara kritis dan kreatif : dapat menganalsis, membuat sintetis, memecahkan masalah, membuat keputusan, dan menggunakan logika dan buki-bukti.
Mengasuh atau memelihara pribadi siswa (nurturing the individual). Siswa memelihara pribadinya : mengetahui, memberi perhatian, memilki harapan-harapan yang tinggi, memotivasi dan memperkuat diri sendiri. Siswa tidak dapat berhasil tanpa dukungan orang dewasa. Siswa menghormati temannya dan juga orang dewasa.
Mencapai standar yang tinggi (reaching high standards). Siswa mengenal dan mencapai standard yang tinggi : mengidentifikasi tujuan dan memoivasi siswa untuk mencapainya. Guru memperlihatkan kepada siswa cara mencapai apa yang disebut ” excellence “.
Menggunakan penilaian autentik ( using authentic assessment ). Siswa menggunakan pengetahuan akademis dalam konteks dunia nyata untuk suatu tujuan yang bermakna. Misalnya, siswa boleh menggambarkan informasi akademis yang telah mereka pelajari dalam pelajaran sains, kesehatan, pendidikan, matematika, dan pelajaran bahasa inggris dengan mendesain sebuah mobil, merencanakan menu sekolah atau membuat penyajian perihal emosi manusia.
4. MAKSUD KONTEKS
Kontekstual adalah salah satu prinsip pembelajaran yang memungkinkan siswa belajar dengan penuh makna. Dengan memperhatikan prinsip kontekstual, proses pembelajaran diharapkan mendorong siswa untuk menyadari dan menggunakan pemahamannya untuk mengembangkan diri dan menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip kontekstual sangat penting untuk segala situasi belajar. Pertanyaannya, apakah yang dimaksud konteks itu ?
Ada sembilan konteks belajar yang melingkupi siswa, yaitu :
Konteks tujuan ( tujuan apa yang akan dicapai ? ).
Konteks isi ( Materi apa yang akan diajarkan ? )
Konteks sumber ( Sumber belajar bagaimana yang bisa dimanfaatkan ? )
Konteks target siswa ( Siapa yang akan belajar ? )
Konteks guru ( Siapa yang akan mengajar ? )
Konteks metode ( Strategi belajar apa yang cocok diterapkan ? )
Konteks hasil ( Bagaimana hasil pembelajaran yang akan diukur?)
Konteks kematangan ( Apakah siswa telah siap dengan hadirnya sebuah konsep atau pengetahuan baru ? )
Konteks lingkungan ( Dalam lingkungan yang bagaimanakah siswa belajar ? )
5. MENGAPA PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL
Ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan mengetahui-nya. Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi mengingat jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang. Dan, itulah yang terjadi di kelas-kelas sekolah kita!
Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning, CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil. Dalam konteks itu, siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka, dan bagaimana mencapainya. Mereka sadar bahwa yang mereka pelajari berguna bagi hidupnya nanti. Dengan begitu mereka memposisikan sebagai diri sendiri yang memerlukan suatu bekal untuk hidupnya nanti. Mereka mempelajari apa yang bermanfaat bagi dirinya dan berupaya menggapainya. Dalam upaya itu, mereka memerlukan guru sebagai pengarah dan pembimbing.
Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerjasama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru (baca: pengetahuan dan keterampilan) datang dari 'menemukan sendiri', bukan dari 'apa kata guru'. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual.kontekstual hanya sebuah strategi pembelajaran. Seperti halnya strategi pembelajaran yang lain. Kontekstual dikembangkan dengan tujuan agar pembelajaran berjalan lebih produktif dan bermakna. Pendekatan kontekstual dapat dijalankan tanpa harus mengubah kurikulum dan tatanan yang ada. Berikutnya akan dibahas persoalan yang berkenaan dengan pendekatan kontekstual dan implikasi penerapannya.
6. KECENDERUNGAN PEMIKIRAN TENTANG BELAJAR DALAM PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL
Pendekatan kontekstual mendasarkan diri pada kecendrungan pemikiran tentang belajar sebagai berikut.
a. Proses Belajar
· Belajar tidak hanya sekedar menghafal. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan dibenak mereka sendiri.
· Anak belajar dari mengalami. Anak mencatatr sendiri pola-pola bermakna dasri pengetahuan baru, dan bukan di beri begitu saja dari guru.
· Para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki ole seseorang yang terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu persoalan (subject matter).
· Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi menceerminkan keterampilan yang dapat diterapkan.
· Manusia mempunya tingkatan yang berbeda dalam menyilapi situasi baru.
· Proses belajar dapat mengubah struktur otak. Perubahan struktur otak itu berjalan seiring perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan seseorang. Untuk itu perlu dipahami, strategi belajar yang salah dan terus menerus dipajankan akan mempengaruhi struktur otak, yang pada akhirnya mempengaruhi cara orang berprilaku.
· Siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dcengan ide-ide.
Transfer Belajar
· Sisiwa belajar dari mengalami sendiri, bukan dari "pemberian orang lain".
· Keterampilan dan penetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sempit), sedikit demi sedikit.
· Yang penting bagi siswa tahu 'untuk apa' ia belajar, dan 'bagaimana' ia menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu.
Siswa sebagai pembelajar
· Manusia mempunya kecendrungan untuk belajar dalam bidang tertentu , dan seorang anak mempunyai kecendrungan untuk belajar dengan cepat hal-hal baru.
· Strategi belajar itu penting. Anak dengan mudah mempelajari sesuatu yang baru. Akan tetapi untuk hal-hal yang sulit, strategi belajar amat penting.
· Peran orang dewasa (guru) membantu menghubungkan antara 'yang baru' dan yang sudah diketahui.
· Tugas guru memfasilitasi : agar informasi baru bermakna, memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri, dan menyadarkan siswa untuk menerapkan strategi mereka sendiri.
Pentingnya lingkungan belajar
Belajar efektif itu di mulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa. Dari "guru akting didepan kelas, siswa menonton: ke "siswa akting bekerja dan berkarya , guru mengarahkan".
Pengajaran harus berpusat pada "bagaimana cara" siswa menggunakan pengetahuan baru mereka. Strategi belajar lebih dipentingkan dibandingkan hasilnya.
Umpan balik amat penting bagi siswa, yang berasal dari proses penilaian (assessment) yang benar.
Menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok itu penting.
7. MOTTO
STUDENTS LEARN BEST BY ACTIVELY CONSTRUCTING THEIR OWN UNDERSTANDING (CTL Academy Fellow, 1999) (Cara belajar terbaik adalah siswa mengkonstruksikan sendiri secara aktif pemahamannya).
8. KATA-KATA KUNCI PEMBELAJARAN CTL
REAL WORLD LEARNING
MENGUTAMAKAN PENGALAMAN NYATA
BERPIKIR TINGKAT TINGGI
BERPUSAT PADA SISWA
SISWA AKTIF, KRITIS, DAN KREATIF
PENGETAHUAN BERMAKNA DALAM KEHIDUPAN
DEKAT DENGAN KEHIDUPAN NYATA
PERUBAHAN PRILAKU
SISWA PRAKTEK BUKAN MENGHAFAL
LEARNING BUKAN TEACHING
PENDIDIKAN (EDUCATION) BUKAN PENGAJARAN(INSTRUCTION)
PEMBENTUKAN 'MANUSIA'
MEMECAHKAN MASALAH
SISWA 'AKTING' GURU MENGARAHKAN
HASIL BELAJAR DIUKUR DENGAN BERBAGAI CARA BUKAN HANYA DENGAN TEST
9.STRATEGI PENGAJARAN YANG BERASOSIASI DENGAN CTL
CBSA
PENDEKATAN PROSES
LIFDE SKILLS EDUCATION
AUTHENTIC INSTRUCTION
INQUIRY-BASED LEARNING
PROBLEM-BASED LEARNING
COOPERATIVE-LEARNING
SERVICE LEARNING
10.LIMA ELEMEN BELAJAR YANG KONSTRUKTIVISTIK
Menurut Zahorik (1995:14-22) ada lima elemen yang harus diperhatikan dalam praktek pembelajaran konstektual.
Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge).
Pemerolehan pengetahuan baru (acquiring knowledge) dengan cara mempelajari secara keseluruhan dulu, kemudian memperhatikan detailnya.
Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), yaitu dengan cara menyusun (1) konsep sementara (hipotesis), (2) melakukan sharing kepada orang lain agar mendapat tanggapan (validasi) dan atas dasar tanggapan itu (3) konsep tersebut direvisi dan dikembangkan.
Mempraktekkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge).
Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut.
11.Beberapa strategi pengajaran yang dapat dikembangkan melalui pembelajaran kontekstual
1. Pembelajaran berbasis masalah
Sebelum memulai proses belajar-mengajar di dalam kelas, siswa terlebih dahulu diminta untuk mengobservasi suatu fenomena terlebih dahulu. Kemudian siswa diminta untuk mencatat permasalahan-permasalahan yang muncul. Setelah itu, tugas guru adalah merangsang siswa untuk berpikir kritis dalam memecahkan masalah yang ada. Tugas guru adalah mengarahkan siswa untuk bertanya, membuktikan asumsi, dan mendengarkan perspektif yang berbeda dengan mereka.
2. Memanfaatkan lingkungan siswa untuk memperoleh pengalaman belajar
`Guru memberikan penugasan yang dapat dilakukan di berbagai konteks lingkungan siswa antara lain di sekolah, keluarga, dan masyarakat. Penugasan yang diberikan oleh guru memberikan kesempatan bagi siswa untuk belajar di luar kelas. Misalnya, siswa keluar dari ruang kelas dan berinteraksi langsung untuk melakukan wawancara. Siswa diharapkan dapat memperoleh pengalaman langsung tentang apa yang sedang dipelajari. Pengalaman belajar merupakan aktivitas belajar yang harus dilakukan siswa dalam rangka mencapai penguasaan standar kompetensi, kemampuan dasar dan materi pembelajaran.
3. Memberikan aktivitas kelompok
Aktivitas belajar secara kelompok dapat memperluas perspektif serta membangun kecakapan interpersonal untuk berhubungan dengan orang lain. Guru dapat menyusun kelompok terdiri dari tiga, lima maupun delapan siswa sesuai dengan tingkat kesulitan penugasan.
4. Membuat aktivitas belajar mandiri
Peserta didik tersebut mampu mencari, menganalisis dan menggunakan informasi dengan sedikit atau bahkan tanpa bantuan guru. Supaya dapat melakukannya, siswa harus lebih memperhatikan bagaimana mereka memproses informasi, menerapkan strategi pemecahan masalah, dan menggunakan pengetahuan yang telah mereka peroleh. Pengalaman pembelajaran kontekstual harus mengikuti uji-coba terlebih dahulu; menyediakan waktu yang cukup, dan menyusun refleksi; serta berusaha tanpa meminta bantuan guru supaya dapat melakukan proses pembelajaran secara mandiri (independent learning).
5. Membuat aktivitas belajar bekerjasama dengan masyarakat
Sekolah dapat melakukan kerja sama dengan orang tua siswa yang memiliki keahlian khusus untuk menjadi guru tamu. Hal ini perlu dilakukan guna memberikan pengalaman belajar secara langsung dimana siswa dapat termotivasi untuk mengajukan pertanyaan. Selain itu, kerja sama juga dapat dilakukan dengan institusi atau perusahaan tertentu untuk memberikan pengalaman kerja. Misalnya meminta siswa untuk magang di tempat kerja.
6. Menerapkan penilaian autentik
Dalam pembelajaran kontekstual, penilaian autentik dapat membantu siswa untuk menerapkan informasi akademik dan kecakapan yang telah diperoleh pada situasi nyata untuk tujuan tertentu. Menurut Johnson (2002: 165), penilaian autentik memberikan kesempatan luas bagi siswa untuk menunjukkan apa yang telah mereka pelajari selama proses belajar-mengajar. Adapun bentuk-bentuk penilaian yang dapat digunakan oleh guru adalah portfolio, tugas kelompok, demonstrasi, dan laporan tertulis.
Portfolio merupakan kumpulan tugas yang dikerjakan siswa dalam konteks belajar di kehidupan sehari-hari. Siswa diharapkan untuk mengerjakan tugas tersebut supaya lebih kreatif. Mereka memperoleh kebebasan dalam belajar. Selain itu, portfolio juga memberikan kesempatan yang lebih luas untuk berkembang serta memotivasi siswa. Penilaian ini tidak perlu mendapatkan penilaian angka, melainkan melihat pada proses siswa sebagai pembelajar aktif. Sebagai contoh, siswa diminta untuk melakukan survey mengenai jenis-jenis pekerjaan di lingkungan rumahnya.
Tugas kelompok dalam pembelajaran kontekstual berbentuk pengerjaan proyek. Kegiatan ini merupakan cara untuk mencapai tujuan akademik sambil mengakomodasi perbedaan gaya belajar, minat, serta bakat dari masing-masing siswa. Isi dari proyek akademik terkait dengan konteks kehidupan nyata, oleh karena itu tugas ini dapat meningkatkan partisipasi siswa. Sebagai contoh, siswa diminta membentuk kelompok proyek untuk menyelidiki penyebab pencemaran sungai di lingkungan siswa.
Dalam penilaian melalui demonstrasi, siswa diminta menampilkan hasil penugasan kepada orang lain mengenai kompetensi yang telah mereka kuasai. Para penonton dapat memberikan evaluasi pertunjukkan siswa. Sebagai contoh, siswa diminta membentuk kelompok untuk membuat naskah drama dan mementaskannya dalam pertunjukan drama.
Bentuk penilaian yang terakhir adalah laporan tertulis. Bentuk laporan tertulis dapat berupa surat, petunjuk pelatihan teknis, brosur, essai penelitian, essai singkat.
Menurut Brooks&Brooks dalam Johnson (2002: 172), bentuk penilaian seperti ini lebih baik dari pada menghafalkan teks, siswa dituntut untuk menggunakan ketrampilan berpikir yang lebih tinggi agar dapat membantu memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan penjabaran yang telah dikemukakan diatas, kurikulum berbasis kompetensi perlu dikembangkan supaya dapat diterapkan secara efektif di dalam proses belajar mengajar. Guru sebagai pelaksana kurikulum dapat menerapkan strategi pembelajaran kontekstual supaya dapat memberikan bentuk pengalaman belajar. Dengan demikian, siswa diharapkan dapat memiliki kecakapan untuk memecahkan permasalahan hidup sesuai dengan kegiatan belajar yang mengarahkan siswa untuk terlibat secara langsung dalam konteks rumah, masyarakat maupun tempat kerja.
Keberhasilan penerapan pembelajaran kontekstual perlu melibatkan berbagai pihak. Dalam hal ini, penulis menyarankan supaya pihak sekolah dan masyarakat memiliki kesadaran akan pentingnya beberapa hal, yaitu:sumber belajar tidak hanya berasal dari buku dan guru, melainkan juga dari lingkungan sekitar baik di rumah maupun di masyarakat; strategi pembelajaran kontekstual memiliki banyak variasi sehingga memungkinkan guru untuk mengembangkan model pembelajaran yang berbeda dengan keajegan yang ada; pihak sekolah dan masyarakat perlu memberikan dukungan baik materiil maupun non-materiil untuk menunjang keberhasilan proses belajar siswa.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembelajaran kontekstual sebagai salah satu alternatif strategi pembelajaran terbukti sangat efektif dan efisien dalam menumbuh kembangkan atau meningkatkan proses belajar mengajar di kelas. Hal ini ditemukan pada beberapa indikator kegiatan belajar siswa diantaranya :
Melakukan hubungan yang bermakna
Melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan
Belajar yang diatur sendiri
Bekerjasama
Berfikir kritis dan kreatif
Memelihara atau mengasuh pribadi siswa
Mencapai standar yang tinggi
Terdeteksi oleh penilaian autentik
B. Saran-saran
Sebagai tindak lanjut dari penulisan karya tulis ini, penulis mengajukan beberapa saran sebagai berikut :
Hendaknya setiap pegelola pendidikan khususnya para guru selalu berusaha untuk mengembangkan lagi berbagai strategi atau pendekatan pembelajaran yang ada.
Sebaiknya para guru dalam melaksanakan tugasnya berpegang teguh pada prinsip daya guna ( efisiensi ) dan hasil guna ( efekifitas ) dalam mewujudkan tugas-tugas yang telah direncanakan dalam persiapan pembelajaran dan atau rencana pembelajaran.
Hendaknya para guru selalu berusaha untuk lebih memahami faktor-faktor yang dapat mendorong ataupun menghambat terjadinya proses belajar mengajar.
10. DAFTAR RUJUKAN
Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi V. PT.Rineke Cipta. Jakarta.
Depdiknas.2003. Model Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam Sekolah dasar. Jakarta.
Farisi,M.I. 2005. Belajar dan pembelajaran. Paket untuk Mahasiswa program S1 FKIP UIM Pamekasan. Pamekasan : Tidak ditebitkan.
Hadi,S.1980. Metodologi Research. Jilid I, Cetakan ke IX. Yogyakarta. Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM.
Iksan,K. 1991. Pengaruh Tahapan Administrasi Program Pengajaran Terhadap Pelaksanaan Proses Belajar Mengajar Di SDN.Lawangan Daya III Kecamatan Pademawu. Skripsi S1 jur.PAI.IAIN Pamekasan. Tidak diterbitkan.
Johnson,E.B. 2002. Contextual Teaching and Learning. California : Corwin Press, Inc. A sage Publications Company.
Ngalim Purwanto.M. 1990. Psikologi Pendidikan. PT.Remaja Rosdakarya.Bandung.
Ngalim Purwanto.M. 1995. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis.. PT.Remaja Rosdakarya. Bandung.
Nurhadi,Dkk. 2004. Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Universitas Negeri Malang (UMPRESS). Malang.
Pusat Data dan Informasi Pendidikan,Balitbang Depdiknas. Peraturan Pemerintah RI Nomer 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. http:// WWW.Depdiknas.or.id. (7 Agustus 2005 ).
Pusat Data dan Informasi Pendidikan,Balitbang Depdiknas. Rancangan Undang-undang tentang Guru . http:// WWW.Depdiknas.or.id. (Revisi 06 April 2005 ).
SUMBER